Rio dan Buro baru saja mengalami kenaikan gaji sebesar Rp.500.000. Keduanya sama-sama pegawai baru, belum menikah, tidak memiliki tanggungan keluarga dan berasal dari latar belakang ekonomi yang sama, dan juga memiliki gaya hidup yang sama karena keduanya sering ‘nongkrong’ bareng. Namun mengapa setelah mengalami kenaikan gaji tersebut Rio merasa sedih sementara Buro merasa senang?
Banyak orang yang belum mengetahui bahwa emosi yang timbul pada diri kita seperti sedih, marah, ataupun senang, merupakan hasil dari pikiran kita sendiri dalam memaknai kejadian yang terjadi. Mereka berpikir bahwa emosi yang terjadi diakibatkan secara langsung dari kejadian. Padahal dari kejadian yang sama- seperti kasus Rio dan Buro di atas- emosi yang muncul sangat beragam- sehingga kita dapat menyimbulkan bukan kejadian-lah penyebab, namun pemikiran (kognisi) individu.
Rio merasa sedih (emosi) karena ia berpikir sebagai pegawai baru ia telah bekerja ekstra keras di tahun pertamanya namun kenaikan gaji ini baru terjadi sekarang (pemikiran: belief) sehingga ia berpikir performa dia dalam pekerjaan sepertinya dinilai rendah oleh perusahaan (pemikiran: belief). Harapan Rio adalah ia menjadi pegawai terbaik tahun ini dan langsung mendapat kenaikan gaji dua kali lipat dari sekarang ini (pemikiran: expectancy). Sementara Buro di pihak lain, merasa senang (emosi) karena ia berpikir dengan membandingkan diri pada perusahaan lain, yang hanya mendapat kenaikan gaji Rp.200.000, sementara ia telah mendapat Rp.500.000. Ia berpikir bahwa management perusahaan sangat menghargai performanya (pemikiran: belief). Ia juga berpikir bahwa kenaikan ini bisa terjadi secara berkala (pemikiran: belief).
Kejadian → Pikiran (Kognisi) → Emosi
Kasus di atas adalah kasus sederhana, bagaimana pemikiran seseorang sangat penting dalam mengakibatkan terjadinya emosi tertentu. Terkadang secara otomatis ataupun sudah dipikirkan terlebih dahulu, dalam aktifitas sehari-hari kita sering bermain-main dengan pikiran kita, dan menghasilkan pikiran kepada diri kita bahwa kita kalah. Menurut Prof. Tian Oei (2012), beberapa permainan pikiran yang sering kita lakukan berikut ini:
1. Whys and The Why
Individu menuntut jawaban yang absolut dari permasalahannya. Contoh: mengapa saya tidak berhasil mendapatkan tender? Apakah karena saya kurang memiliki kemampuan? Apa yang membuat saya mengucapkan kata-kata yang salah dalam tender? Mengapa pihak itu bertanya hal A dalam tender? Mengapa saya tidak memakai pakaian yang bagus dalam tender? Mengapa rekan saya tidak menjawab pertanyaan mereka dengan baik?
2. 100 % is the only goal-any less is failure:
Dalam performance pekerjaan ataupun aktifitas sehari-hari lainnya, individu menganggap tujuannya harus tercapai 100 %, kurang dari 100% adalah suatu kegagalan - Saya harus bagus setiap saat - Saya harus memberi/ menerima kesenangan setiap saat - Saya harus terlihat sempurna Co: Arya mendapat nilai ujian A-, hal ini membuatnya merasa gagal karena ia berpikir seharusnya ia mendapat A
3. Mendefinisikan kebahagiaan dengan menggantungkan kepada orang lain daripada diri sendiri
Contoh: Saya hanya bisa bahagia apabila teman-teman menyukai saya
4. Mendefinisikan kebahagiaan dalam konteks kejadian eksternal yang berada di luar control kita.
Contoh: Saya hanya bisa bahagia apabila pertunjukan yang saya lihat menarik
5. Menuntut diri anda terlalu berlebihan
Contoh: Saya harus bisa mengatasi depresi atau kecemasan saya sendirian Masalah saya adalah yang paling buruk dan tidak ada yang akan mengerti saya
6. Menggunakan kata ”tapi” secara fatal, dari hal-hal yang positif ke hal-hal yang negatif Contoh: Hal ini berjalan lancar saat ini, tapi ini tidak akan bertahan lama
7. Menambahkan kata “bagaimana kalau” yang bersifat negatif kepada negatif
Contoh: Mungkin saya bisa melakukan ini, tapi bagaimana kalau saya tidak bisa?
8. Melakukan analisis dalam setiap kejadian yang telah terjadi dengan memperbesar hal-hal negatif dan mengabaikan hal positif (post-mortem), selalu dengan elemen menyalahkan diri sendiri
: Meskipun waktu itu saya bisa bertahan, itu hanya karena kebetulan, dan lain kali saya tidak akan bertahan
9. Berpikir seakan dunianya telah kiamat, berpikir mengenang tragedi-tragedi sehingga langsung merasa tidak enak
Contoh: Saya tidak bisa melanjutkan kehidupan saya kalau pasangan saya meninggalkan saya
10. Memiliki pikiran “sudah jatuh tertimpa tangga”, berulang kali mengalami tragedy buruk berkali-kali sehingga merasa sekarat
PERMAINAN PIKIRAN BARU YANG PERLU DIMAINKAN:
Pada permainan pikiran yang memainkan lose-lose game, sekarang, kita tentunya menginginkan agar anda memainkan Win-Win game, menghadirkan kemenangan kepada anda sendiri
1. 100 % is not the only goal
2. “Tapi”..yang tadinya positif-negatif, menjadi negatif ke positif
Co: Saya punya kepala yang botak, TAPI ini bukan akhir dari dunia
3. What IF Game
Berubah dari “negatif ke negatif” menjadi positif ke positif Saya terlihat bagus dalam pidato saya, apa yang terjadi kalau besok saya berpidato lagi dengan lebih baik?
4. Berhenti menjadi musuh besar bagi anda sendiri
Bersikaplah lembut, baik dan ramah kepada diri anda sendiri. Hargai apa yang sudah anda lakukan. Contoh: setiap mengalami kenaikan jumlah di bisnis anda meskipun angkanya kecil, berikan tepukan di punggung kepada diri anda sendiri, good job!
5. Analisis kejadian buruk diubah dari menyalahkan diri sendiri menjadi analisis menemukan potensi-potensi atau diri anda sendiri yang dilihat berdasarkan pengalaman belajar anda
6. Ciptakan sesuatu yang baru dan bermakna dari pemikiran anda
Cheers,
RumahPohonKemang